BALADA BESAN DAN MENANTU (PART07)
Isi Postingan:
BALADA BESAN DAN MENANTU PART07
…TRUESTORY…
.
.
Hari berikutnya.
..
Pak Wira, saya udah nggak kuat lagi ngurus
sawah ini, ucap Pak Amat dengan nada berat,
matanya memandang jauh ke hamparan padi
di depannya.
Anak-anak saya nggak ada yang mau nerusin.
Biaya sekolah juga makin tinggi, sementara
hasil panen nggak seberapa. Saya pikir,
daripada sawah terbengkalai, lebih baik saya
gadaikan dulu… atau kalau bapak mau, beli aja
sekalian.
.
.
.
Pak Wira mendengarkan dengan seksama,
sesekali mengangguk. Dia tahu betul betapa
sulitnya kondisi yang sedang dialami Pak
Amat. Sejak istrinya meninggal, Pak Amat
memang tampak semakin kesulitan mengelola
sawahnya seorang diri. Anak-anaknya pun
lebih memilih merantau ke kota,
meninggalkan warisan pekerjaan keluarga
yang telah turun-temurun.
Saya paham, Mat, jawab Pak Wira, menepuk
bahu tetangganya dengan lembut. Kalau
kamu mau gadaikan, saya setuju. Tapi, kalau
kamu rela untuk melepas sawah ini, saya juga
bisa langsung membelinya. Sawahmu bagus,
masih subur. Bisa jadi investasi buat saya.
Pak Amat menghela napas panjang. Tawaran
itu memang menggoda. Dengan uang dari
penjualan sawah, setidaknya dia bisa
melunasi utang-utang dan menyekolahkan
anak-anaknya dengan lebih tenang. Tapi di
sisi lain, sawah ini sudah menjadi bagian dari
hidupnya selama bertahun-tahun.
.
.
.
Jadi, Pak Wira serius mau membeli sawah
saya? tanya Pak Amat, dengan pandangan
penuh harap.
Pak Wira mengangguk mantap. Kalau kamu
setuju, saya beli. Kita urus segera biar nggak
berlarut-larut. Kamu juga bisa langsung fokus
ke anak-anak dan kebutuhan lainnya.
Pak Amat terdiam, merenung sejenak, sebelum
akhirnya mengangguk pelan. Baiklah, Pak.
Saya terima tawarannya. Saya yakin sawah ini
ada di tangan yang tepat. Nanti saya akan
bilang ke anak-anak kalau sawah ini sudah
terjual.
Pak Wira tersenyum, merasakan kepuasan
yang sulit dijelaskan. Sawah Pak Amat yang
subur memang sudah lama ia incar, dan
sekarang ia berhasil mendapatkannya dengan
cara yang baik. Kita urus di kantor desa
minggu depan, ya? Biar semua resmi.
Pak Amat mengangguk. Iya, terima kasih, Pak.
Setidaknya, saya nggak perlu khawatir lagi
soal sawah ini.
Mereka pun berjabat tangan, menandai
kesepakatan yang baru saja mereka buat. Pak
Wira merasa beruntung karena berhasil
mendapatkan sawah yang sudah lama ia
inginkan, sementara Pak Amat merasa lega
karena beban hidupnya sedikit terangkat.
.
.
.
Sore harinya…
..
Di tengah hamparan sawah yang tak terurus
penuh ilalang, Pak Wira melangkah santai.
Meskipun seharian bekerja keras di sawahnya,
langkahnya tetap ringan, seolah tenaga dalam
dirinya belum habis terperas.
Di pundaknya terayun-ayun sedikit beban
sayuran yang ia panen sebelum pulang.
Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya
melayang pada sawah milik Pak Amat yang
sebentar lagi akan menjadi miliknya.
.
.
.
Pak Wira berhenti di dekat pematang sawah.
Di kejauhan, sebuah gubuk tua berdiri di
tengah sawah yang akan segera ia beli. Gubuk
itu tampak usang, dikelilingi oleh ilalang
tinggi yang bergoyang diterpa angin. Namun,
ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ada
gerakan-gerakan samar di dalam gubuk itu
.
.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts