ADIK IPAR PELIPUR LARA(PART13)
Isi Postingan:
ADIK IPAR PELIPUR LARAPART13
…
..
.
Kenapa kamu selalu
menghindari menatap mataku.
Takut jatuh cinta padaku?
tanya Dimas.
Please jangan mulai lagi.
Kenapa juga aku harus menatap
matamu. Bukan suatu
keharusan juga kan? jawabnya.
Tentu saja kamu tidak
sopan bila sedang berbicara tapi
tak melihat lawan bicaramu
kan? kata Dimas serius.
Aku sedang malas berdebat
denganmu hal remeh dan receh
, sahutnya.
Ok, kalau kamu gak mau
membahas hal yang menurut
remeh dan receh, kenapa kita
gak bahas apa yang membuatmu
stres dan kepikiran sampai sakit
sebut Dimas.
…
Sudah kubilang, aku gak
mau membahasnya. Berapa kali
harus aku ulangi jawaban yang
sama, ketusnya.
Aku yakin, ini ada
hubungannya dengan Mas Bram
kan? Kamu pasti sedang
memikirkan Mas Bram. Kamu
merindukannya? Atau ada hal
lain mengenai Mas Bram yang
membebani pikiranmu? Tak
maukah kamu cerita ke aku?
tanya Dimas.
Stop memaksaku bicara
tentang apa yang sedang
kupikirkan. Bisa kan kamu
berhenti menambah beban
pikiranku? katanya setengah
berteriak emosi, lalu bangun
dari kursinya.
Dimas memegang tangan
Celia, menahannya untuk pergi.
Dimas kemudian bangun,
berdiri dihadapan Celia.
Aku minta maaf. Maaf jika
aku bersikeras memintamu
cerita. Aku cuma mau kamu
berbagi beban itu denganku.
Aku khawatir kalau kamu
memendamnya sendiri akan
semakin berat pikiran di
kepalamu. Aku itu peduli dan
ingin membantumu. Tapi kalau
kamu gak mau cerita, ya sudah,
kata Dimas menatap wajah
cantik wanita di depannya itu.
Dimas bisa melihat jelas,
mata itu mulai tampak redup,
tak bersinar, tak bercahaya
seperti saat awal-awal dia
menikah dengan Bramantio.
Dimas merasa, ada lara, ada
gundah, kegelisahan yang
tengah Celia rasakan, entah
sesakit dan sepedih apa.
Tapi, Dimas yakin, memang
ada sesuatu yang Celia pendam
dalam hatinya. Dan dia
berusaha tetap kuat dan tegar,
meski mungkin sebenarnya dia
begitu rapuh saat ini.
Apa yang sebenarnya
terjadi denganmu. Apakah
kamu bahagia menikah dengan
Mas Bram? Sebesar apa beban
pikiran yang sedang kamu
tanggung saat ini, batinnya.
Lupakan saja. Jangan
pernah menyinggung hal itu
lagi. Berhenti mendesakku
untuk membahas itu, pintanya.
Andai saja kamu mau
berbagi beban itu denganku,
mungkin saja sedikit
mengurangi pikiranmu. Kenapa
gak mau cerita padaku apa yang
sedang kamu rasakan saat ini?
tanyanya dalam hati.
…
Ok. Baiklah aku gak akan
memaksamu, ujarnya. Celia
memegang kepalanya yang
kembali pusing karena berdebat
dengan Dimas.
Kenapa? Kepalamu
kembali sakit ya, kata Dimas
khawatir, lalu seketika dia
membopong Celia.
Aku masih bisa jalan
sendiri. Turunkan aku, protes
Celia. Dimas tak bergeming,
terus menggendongnya dan
membawa Celia ke tempat
tidurnya.
Istirahat aja lagi. Nanti aku
bangunin untuk makan malam
dan minum obat, sebut Dimas.
Aku gak ngantuk. Mau
tidur-tiduran aja, santai. Sudah
kamu mandi sana. Mulai bau
keringat tau gak? sebut Celia.
Iya, aku emang harus
mandi, mulai gerah dan bau
keringat juga nih, katanya.
Dia kemudian mandi,
setelah itu keluar kamar mandi,
hanya mengenakan dan
melilitkan handuk di
pinggangnya, sementara tubuh
bagian atasnya dibiarkan
terbuka tak tertutupi apapun.
Baju Mas Bram ada di
lemari kan? Mau bantu aku
cariin atau aku ambil sendiri
mana yang belum dia pakai ya?
tanya Dimas, membuat fokus
Celia teralihkan dari ponsel ke
Dimas.
Dia melihat dengan jelas
tubuh atletis dan gagah milik
Dimas, membuatnya menelan
ludah.
…
Hatinya tak bisa bohong, dia
terpana, tertegun menatap
tubuh Dimas yang bertelanjang
dada itu, yang begitu menarik.
Ya, ambil saja sendiri di
lemari. Cepat pakai baju, jangan
berdiri di situ cuma handukan
saja, sebut Celia, agak
gelagapan dan sedikit gugup.
Ekspresi gugup Celia itu
membuat Dimas tersenyum
simpul.
Ada beberapa t-shirt dan
celana pendek yang masih
punya label, yang baru dibeli
serta belum dipakai Dimas,
termasuk celana dalam juga.
Aku pakai baju dan celana
ini ya, pinta Dimas,
menunjukkan baju dan celana
yang mau dipakainya pada Celia.
Iya, pakai aja baju yang
senyamannya ingin jamu pakai,
sebut Celia, mberikan Dimas
izin memakai baju dan celana
suaminya.
Tak hanya itu, dia juga
memakai parfum, deodorant
milik Bram, lalu menyisir
rambutnya yang semakin
panjang itu.
Bagaimana penampilanku.
Tampan gak? tanya Dimas
percaya diri, berpose sambil
memutar tubuhnya di hadapan
Celia.
Biasa aja, jawab Celia
sekenanya.
….
Ha..ha.ha. biasa aja? Kalau
tampangku biasa saja, para gadis
di luar sana gak akan
mengejar-ngejar aku. Tentu saja
itu karena aku tampan dan
gagah, tapi kenapa kamu bilang
biasa saja? tanyanya.
Karena aku bukan salah
satu dari gadis gadis itu. Kalau
menurut pendapatku kamu
biasa saja, emang kenapa?
Marah? gak terima? sindir
Celia.
Siapa juga yang marah.
Aku gak peduli penilaianmu
terhadapku, katanya,
menyeringai.
Tiba-tiba, handphone
Dimas yang dia letakkan di atas
meja di samping tempat tidur
berbunyi, ada panggilan dari
Rena.
Dia tak langsung
mengangkatnya,
membiarkannya berdering
beberapa kali.
Kenapa gak kamu angkat?
tanya Celia.
Males, gak penting juga,
sahutnya.
Kembali handphone itu
berbunyi. Celia lalu mengambil
smartphone produksi negeri
Paman Sam itu, kemudian
menyerahkan pada Dimas.
Ini! Jawab saja, pinta
Celia.
Dengan terpaksa, Dimas
mengambil ponsel yang
disodorkan Celia, kemudian
menjawalb panggilan telpon
tersebut.
…
Seketika terdengar suara
seorang perempuan, yang
lumayan keras dan lantang,
membuat Dimas sedikit kaget
dan menjauhi ponselnya itu dari
telinganya.
Kenapa gak angkat dan
balas pesanku sih dari tadi siang
aku hubungi. Kamu sengaja kan
melakukannya?tanya Rena,
gadis yang sudah beberapa
bulan ini dekat dengan Dimas.
Bahkan Rena cukup percaya
diri mengklaim dia adalah
kekasih mahasiswa teknik itu,
meski Dimas tak pernah secara
gamblang memintanya untuk
jadi pacarnya.
Aku gak sempat pegang
ponsel dari tadi siang. Sibuk,
jawabnya, cuek, tanpa merasa
bersalah.
Kamu lagi dimana sih? Kok
tiba-tiba menghilang dari
kampus. Gak pamit dan
ngabarin aku juga, cecarnya.
Aku lagi ada hal yang harus
aku selesaikan di suatu tempat,
sahutnya, melirik Celia yang
sedang berberes meja.
Tapi nanti malam kita
tetap makan malam di restoran
kan? tanyanya lagi,
memastikan.
….
Aku gak bisa temani kamu
makan malam nanti. Ini masih
lama selesainya. Sudah dulu ya,
aku mau lanjutkan kerjaanku
dulu, katanya, memutuskan
sambungan telpon selulernya.
Selesai menerima telpon
tersebut, Dimas kembali
meletakkan gawainya di meja.
Kenapa kamu gak pulang
aja. Penuhi janjimu untuk
makan malam sama pacarmu
itu. Bisa gak sih, kamu jadi pria
sejati, gentleman. Tidak terus
menerus mempermainkan
perempuan, sindir Celia.
Dia bukan pacarku. Lagi
pula gak ada kewajiban aku
harus nmakan mnalam sama dia.
Terserah kamu menilaiku
bukan pria sejati, aku gak peduli
, katanya.
Karena, saat ini, yang aku
pedulikan hanya kamu.
Kondisimu saat ini lebih penting
dari apapun juga. Aku gak akan
pulang,ungkapnya.
Dengar! Jangan jadikan
kondisiku sebagai alasan untuk
bersikap begitu pada pacarmu
itu, tegas Celia.
Aku gak jadikan kondisimu
sebagai alasan. Aku memang
peduli padamu, sayang dan
cinta kamu, tuturnya,
menguntarakan isi hatinya
untuk kesekian kalinya.
Berhenti mengucapkan
kata-kata itu. Aku gak mau
dengar, katanya, marah.
Aku gak minta kamu untuk
peduli padaku. Gak minta kamu
untuk terus temani aku di sini.
…..
Aku sudah sehat, gak butuh.
Jadi pulanglah, kembali Celia
meminta Dimas pulang.
Kamu gak akan bisa
memaksaku pulang. Karena saat
ini kesempatanku bisa dekat
denganmu setelah beberapa
bulan. Aku kangen banget sama
kamu. Jadi jangan berpikir, aku
akan menyia-nyiakan
kesempatan berduaan dengan
kamu sampai lusa, sebut Dimas.
Terserah saja kalau kamu
gak mau pulang. Tapi sekaramg,
lepasin tanganku. Karena aku
mau turun untuk siapin makan
malam, katanya, keluar dari
kamar itu.
Kamu yakin kuat turun ke
bawah tanpa bantuan ku?
tanya Dimas memegang tangan
Celia.
Aku sanggup. Gak butuh
bantuanmu, jawabnya sewot,
mulai menuruni satu per satu
anak tangga, berpegangan i
Ppegangan pinggir tangga.
Dimas menyeimbangi
langkah Celia, berjalan di
sampingnya.
Begitu sampai di lantai satu
rumah itu, Celia langsung ke
dapur. Dia lalu mempersiapkan
bahan untuk membuatkan
spaghetti dan pasta.
Setelah selesai memasak,
dibantu Bik Laksmi dan Tini, dia
menyajikan di atas meja untuk
makan malam.
….
Usai menikmati makan
malam dan spaghetti, Celia
minum obat, setelah itu Celia
duduk santai di sofa di ruang
tamu, sembari mnemainkan
ponselnya, tapi hanya sekitar
sepuluh menit saja.
Dia kemudian naik ke lantai
dua, menuju ruang hiburan,
menghidupkan tivi, menonton
Chanel fashion.
Sementara, Dimas masih
duduk di ruang makan,
berbincang serius dengan kedua
pembantu di rumah itu.
Aku ingin tau kebiasaan
Mbak Celia setiap hari. Apa ada
yang aneh. Apa yang Mbak Celia
lakukan setiap harinya bila dia
di rumah bersama Mas Bram,
saat lagi gak bertugas maupun
ketika sedang terbang ? tanya
Dimas.
Seperti biasanya den, gak
ada yang aneh. Ibu suka
merawat taman kalau waktu
luang, menerima kedatangan
teman-temannya, kata Tini
Kalau bapak lagi di rumah,
ibu biasanya duduk santai di
balkon atau ruang keluarga.
Malam hari nonton tivi di lantai
atas, atau semalaman di ruang
kerjanya, tambah Bik Laksmi.
Jadi gak ada yang
mencurigakan dan aneh dari
aktivitas ibu ya? tanyanya lagi.
Iya, paling kalau bapak gak
ada, beberapa kali ibu tidur di
ruang kerjanya. Itu saja, jelas
Tini.
Apa mereka pernah
bertengkar? kembali Dimasbertanyabertanya.
Setau kami , dan yang kami
lihat dan dengar selama
beberapa bulan tinggal di sini,
Bapak dan Ibu tidak pernah
bertengkar. Mereka harmonis
dan baik-baik saja, tutur Bik
Laksmi.
Jadi begitu ya, katanya.
Iya den, begitu yang kami
tau, sahut Tini.
Baik lah, kalau gitu aku
mau bicara dengan Mbak Celia
dulu, katanya, mengakhiri
pembicaraan dengan kedua art
itu setelah lebih kurang satu jam
lebih ngobrol.
….
Dia lalu bersiap menuju ke
arah tangga untuk naik kembali
ke lantai dua.
Oh ya, kalau aku mau tidur,
kamarku di atas kan? tanyanya.
Iya den, di dekat koridor
sebelum ruang keluarga, kata
Tini
Waktu sudah menunjukkan
pukul sepuluh malam.
Sesampainya di ruangan
khusus untuk hiburan, dimana
bisa untuk karaoke, bermain
musik, menonton film dan tv,
dia melihat Celia sudah tertidur
di sofa, sementara televisi masih
menyala.
Perlahan, Dimas mendekati
Celia yang terbaring dengan
posisi terlentang, kepalanya
diatas bantal sofa.
Lelaki itu mematikan tv,
kemudian duduk sofa di
samping Celia, menatap sendu
wajah istri kakaknya itu.
Dia membiarkan Celia
terlelap beberapa saalagi,
sebelum dia mengangkatnya ke
kamar tidur.
Perlahan, tubuh harum
wanita itu dibaringkan ke
tempat tidur, lalu dia
menyelimutinya, mengecup
keningnya
Secara tiba-tiba tanpa
disangka, Celia membuka
matanya, lalu bangun dan
memeluk erat tubuh Dimas.
Biarkan aku memelukmu
sejenak, merasakan hangatnya
dekapanmu. Aku butuh kamu
disampingku malam ini. Jangan
pergi. Please, bisiknya serak,
mulai terisak.
…
Aku gak akan pergi dari
sisimu. Aku akan lakukan
apapun yang kamu inginkan,
sahut Dimas, mempererat
pelukannya.
Dia lalu mengusap pundak
Celia, kemudian mencium
rambut wanita itu beberapa kali.
Menangis lah, jika itu
membuat bebanmu sedikit
berkurang. Aku ada di sini
untukmnu, katanya.
NoteL..i..k.e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts