ADIK IPAR PELIPUR LARA (PART 3)
Isi Postingan:
ADIK IPAR PELIPUR LARA PART 3
…ceritadewasa…
.
.
.
Hallo! Dimas, kamu lagi
dimana? tanya Bram, kakaknya
di telpon.
Lagi nongkrong nih sama
anak-anak di cafe, emang
kenapa? tanya Dimas.
Dia lalu bangun dari
kursinya, menjauh dari meja
tempat teman-temannya duduk
di cafe itu untuk melanjutkan
obrolan dengan mas nya itu.
Hujan gerimis mulai turun
sore itu.
Bisa mas minta tolong
jemput mbakmu. Dia lagi di
butik. Mas masih ada keperluan
yang gak bisa ditinggal, lagi
meeting di perusahaan
maskapai. Mas masih lama
pulangnya, jelas Bramantio
tentang situasinya saat itu.
…
Emangnya Mbak Celia gak
bawa mobil ya? Kok harus
dijemput segala, kembali Dimas
bertanya.
Tadi pagi dia mau mas
antar ke butik dan jemput dia
sore harinya. Makanya dia gak
bawa mobil, jelasnya.
Oh begitu, sahutnya.
Ya, tadi awalnya mas mau
suruh jemput sama Pak Dodit,
tapi mas baru sadar, Pak Dodit
lagi kurang enak badan, kasian
kan kalau suruh dia bawa mobil
, tutur Bram.
Pak Dodit adalah salah
seorang sopir pribadi keluarga
mereka, yang sudah bekerja
selama 15 tahun.
Sopir lainnya adalah Mang
Asep, yang sudah jadi sopir sejak
9 tahun lalu. Keduanya berasal
dari kampung.
Pak Dodit punya seorang
istri dan dua anak, yang sudah
diboyong ke kota bersamanya.
Tapi karena orang tuanya
masih ada, dia dan keluarganya
empat bulan sekali pulang
kampung selama seminggu.
Iya, tadi pagi Pak Dodit
udah periksa juga ke klinik,
kayaknya dia kelelahan, kan
baru balik dari kampung juga
kemarin, kata Dimas.
Makanya, mas minta
bantuan kamu, jemput Celia.
Gak mungkin juga kan mas
minta Celia naik grab. Jadi mau
ya jemput mbakmu, sebentar
aja, pintanya.
Baik, aku segera ke butik.
Kasian juga ini lagi hujan kalau
Mbak Celia kelamaan nunggu,
kata Dimas.
Dimas gak mungkin
menyia-nyiakan kesempatan
untuk menjemput Celia, paling
tidak, dia bisa berduaan dengan
wanita itu.
…
Makanya dia bersedia
membantu Bram untuk
menjemput istrinya itu.
Setelah mengakhiri
panggilan telpon dengan
masnya itu, Dimas kembali ke
meja teman-temamnya.
Hey bro semua, aku cabut
dulu ya. Ntar besok kita
ngumpul lagi, kata Dimas
pamit pada mereka.
Di luar cafe, hujan
mengguyur kota dengan
derasnya.
Lo mau kemana buru-buru
banget, gak nunggu bentar lagi
para cewek bakal gabung sama
kita-kita. Ada Cindy, Rere dan
Jeni, yang mau kumpul. Rugi
loh gak ketemu mereka, bujuk
temannya, Sandi.
Aku mau jemput cewek,
lebih seksi dan mnenggoda
dibandingkan gadis-gadis yang
kalian sebutkan tadi, katanya
nyengir.
Siapa sih, jadi penasaran?
tanya Dirga.
Ya, siapa cewek itu.
Mngsa baru lagi ya? Kita kenal
gak sama gadis itu, sambung
Sandi lagi.
Gak akan aku kenalin. Ini
rahasia. Kali ini bukan mangsa
baru. Aku serius mau
mendapatkan hati dan cintanya
jawab Dimas, menyeringai.
Wekkkk, lebay banget.
Emang playboy kayak kamu bisa
serius mau dapetin hati dan
cintanya cewek. Bullshit kataku
sih, kata Dirga, meledek Dimas.
Udah ah, aku mau jalan
dulu, nanti kelamaan dia
nunggu, mana hujan semalkin
deras lagi, sebut Dimas.
Mahasiswa teknik semester
lima itu lalu berjalan ke mobil
Jeep Wrangler Rubicon empat
pintu warna sting grey miliknya.
….
Beberapa saat kemudian,
dia melajukan mobilnya di
ngah derasnya hujan menuju
butik milik Celia, tak jauh dari
pusat perbelanjaan.
Butik mewah yang diberi
nama Celia Modista itu buka
dari pagi sampai sore.
Dimas turun dari mobilnya,
lalu masuk ke dalam butik
tersebut.
Celia yang memakai dress
kerja formal sleeveless selutut
midi tanpa lengan itu, duduk
sambil membaca majalah mode
di sofa cream bermotif bunga
merah muda.
Di atas meja, ada secangkir
eh kamomil panas
kesukaannya, yang baru saja
dibuatnya untuk
menghangatkan tubuhnya saat
cuaca yang dingin.
Celia hanya melihat sekilas
kedatangan Dimas saat pemuda
itu masuk melewati pintu.
Ekspresinya tampak tak
begitu senang dan jutek.
Beberapa saat lalu, Celia
baru saja berdebat dengan suami
ditelpon karena urusan
jemputannya.
…
Sayang, aku minta maaf ya,
masih meeting nih. Jadi gak
bisa jemput kamu, kata Bram.
Mas gimana sih, aku
sendirian di butik nih, mana
mulai hujan lagi. Jadi kapan
meetingnya selesai. Biar aku
tunggu, kata Celia.
Sepertinya masih lama,
malam nanti baru selesai. Aku
minta bantuan Dimas aja ya
untuk jemput kamu, kata Bram.
Gak usah, aku pulang baik
grab aja, dari pada harus pulang
sama dia, tolak Celia.
Kamu kenapa sih,
kayaknya gak suka banget sama
Dimas. Apa karena dia suka
ngomong ceplas ceplos,
kata-katanya yang tak
terkontrol saat bicara sama
kamu. Atau karena dia sedikit
agak nakal, tengil dan playboy
ya? tanya Bram.
Mas tau sendiri, sejak awal
kenal dia, aku gak bisa akur kan
sama dia. Karena sikap dan
perilakunya itu menyebalkan.
Jadi, aku gak mau dijemput
sama Dimas, tegas Celia.
Gak ada pilihan lain, aku
akan telpon dia sekarang, kata
Bram, memutuskan sambungan
telpon itu.
Dia lalu menghubungi
Dimas, dan adiknya itu bersedia
membantu menjemput Celia.
Dimas akan jemput kamu.
Tunggu aja dia datang ya, tulis
Bram dalam pesan
WhatsAppnya.
Terserah saja, balasnya,
jengkel.
….
Meski tak senang Dimas
datang menjemputnya, Celia
gak bisa apa-apa saat ini.
Dia masih terus fokus
membaca majalah itu, tanpa
mempedulikan Dimas, yang
berusaha melempar senyum
padanya dari depan pintu
masuk butik.
Dimas lalu perlahan
berjalan ke arahnya, melempar
kunci mobil ke meja, kemudian
menghempaskan tubuhnya ke
sofa di samping Celia, bersender
di sandaran sofa, sembari
menarik nafas panjang.
Matanya menyapu setiap
sudut ruangan butik itu, takjub
dengan rancangan Interiornya.
Interiornya mewah dan
elegan dengan warna putih
dengan sedikit aksen emas yang
elegan untuk etalase.
Penutup dinding dengan
pola sinar matahari, karpet
bermotif floral dan sofa
bermotif bunga merah muda.
Lalu ada lampu gantung
plafon kristal mewah, ada juga
kombinasi lampu sconce, track
dan lampu gambar.
Sehingga selain
mendapatkan kualitas cahaya
yang bagus, juga mampu
memberi tambahan estetika
untuk keseluruhan ruangan.
…
Ada juga cermin besar di
bagian dinding dalam ruangan
butik yang luas itu.
Di butiknya, Celia
memajang di etalase, di
manekin dan menggantung
busana yang berkualitas tinggi,
baik dari segi bahan, teknik
jahit, dan hasil akhir.
Model busana yang dijual di
sana, berkualitas tinggi, tidak
ada di pasaran bebas.
Selain menjual busana,
butik Celia itu juga menjual
perhiasan, sepatu, sandal, ikat
pinggang, selendang,
kerudung, dan hiasan rambut.
Ini pertama kali aku ke sini.
Butiknya mewah, elegan,
modern, keren dan berkelas.
Seperti Mbak puji Dimas.
Celia tak menanggapi pujian
Dimas, matanya masih tertuju
ke artikel di majalah terbaru
terbitan bulan ini.
….
Sementara, di luar hujan
masih membasahi bumi. Waktu
pun sudah menunjukkan pukul 1
8.30 jelang malam.
Mbak Celia sendirian aja
ya? Yang lain pada pulang?
tanya Dimas.
Celia mempekerjakan dua
orang staf, dua karyawan serta
tiga pramuniaga untuk
melayani pembeli secara
personal shopping, penyesuaian
ukuran, dan pesanan khusus.
Mereka mulai bekerja dari
pukul 08.00 pagi dan pulang
pada pukul 18.00 atau pukul 6
Sore.
Jadi, mereka jam segini
tentu saja sudah pulang, saat
hujan baru turun tadi.
Makanya, tinggal Celia
sendirian di dalam butik
tersebut.
Sudah tau aku sendirian di
butik ini, pakai nanya lagi,
ketusnya, sembari membolak
balik halaman majalah tanpa
melihat ke arah Dimas saat
berbicara.
Yah, siapa tau Mbak Celia
lagi nyembunyiin cowok di
dalam sana, atau dibalik pakaian
itu..wk..wk..wk, tawanya,
meledek.
Dimas lalu mengambil
cangkir teh kamomil hangat di
hadapannya, kemudian
meneguknya sampai habis.
Gak sopan banget sih. Itu
teh aku. Kalau kamu mau
minum permisi dulu, minta izin.
Lebih baik lagi kalau memnang
pengen teh bilang aja, biar aku
bikinin, kata Celia sewot.
Ah, cuma secangkir teh
juga, kenapa harus
dipermasalah kan sih. Bisa gak
mbak ngomong lemnbut, ramah
dan bersahabat sama aku.
Jangan ketus, emosian melulu
dan ngegas terus, kata Dimas,
tertawa nyengir.
Gak perlu ngomong
baik-baik dan lembut sama
cowok kayak kamu, sahut Celia,
masih ngedumel.
Ha.ha..ha. santai aja
kenapa sih. Mbak jangan suka
sewot, kesal dan marah-marah
gitu, ntar cepat tua dan keriput
loh, goda Dimas, mencbit
gemas kedua pipi Celia.
…
Eh, jangan sembarangan pe
ang-peang pipi aku. Ingat ya,
aku ini kakak ipar kamu. Jangan
kurang ajar, main peang dan
senuh -senuh aja. Awas kamu,
geramnya, menepis keras
tangan Dimas.
Gimana dong, aku makin
suka dan tergila gila saat
melihat Mbak Celia ngambek,
cemberut, merajuk dan
merengut. Ekspresi wajah mbak
saat cemberut, dengan
mengerucutkan bibir, begitu
menggemaskan. Rasanya
pengen aku luat bibir sesi nan
ranum itu. Apalagi, tubuh Mbak
Celia begitu harum, membuatku
berairah dan makin bernasu,
godanya.
Celia menghempaskan
dengan keras majalah yang
dipegangnya itu ke atas meja.
Dia benar-benar sudah talk
sabar dan tak sanggup menahan
emosinya lagi. Dia sangat
jengkel dengan sikap dan
perkataan Dimas itu.
Cukup kamu bicara kurang
ajar dan gak sopan begitu
padaku. Aku minta kamu keluar
dari sini sekarang. Pergi! usir
Celia, sembari berdiri.
Aku gak akan pergi tanpa
Mbak Celia. Mas Bram minta
tolong aku jemput mbak.
aku menyanggupinya, katanya.
So, ya aku harus jadi adik
yang baik dan bertanggung
jawab dong, mengantar istri
cantik mas ku hingga selamat
sampai rumah, lanjutnya.
Kamu gak perlu antar aku.
Aku gak butuh bantuanmu. Aku
bisa pulang naik grab atau
tunggu Mas Bram jemput.
Sekarang lebih baik kamu pergi
dari sini, kembali Celia
meminta Dimas keluar dari
butik itu.
…
Tapi, Dimas tak bergeming,
dia masih duduk di sofa, seakan
tak peduli dengan kemarahan
Celia yang mengusirnya.
Aku sudah bilang akan
antar pulang Mbak Celia ke
rumah, kapanpun mbak mau
pulang. Aku sih maunya masih
terus di sini, kalau bisa sampai
malam, berduaan dengan mbak,
harapnya.
Jangan harap aku mau
berlama-lama di sini sama kamu.
Aku maupulang selkarang,
teriaknya, dengan sorot mata
penuh amarah.
Jadi mbak mau kita pulang
sekarang, tak ada lagi keperluan
yang harus diselesaikan dulu,
tanya Dimas.
Tidak! Ayo pulang,
ajaknya.
Dimas berjalan
berdampingan dan mencoba
memegang tangan Celia saat
hendak keluar ruangan butik
tersebut.
Tapi, Celia menjauh
darinya, menjaga jarak dengan
Dimas.
Dia tampak sedang
menahan dinginnya cuaca,
dengan menggosok-gosokkan
tangannya agar hangat.
Mereka lalu masuk ke dalam
mobil, duduk di jok depan.
Mbak kedinginan ya? Ini,
pakai jaketku, katanya,
memakaikan jaket itu ke tbuh
Celia.
Meski sempat menolaknya,
Dimas tetap memaksa Celia mau
memakai jaketnya.
Dia akhirnya membiarkan
Dimas memakaikan jaket
baseball miliknya itu untuk
menghangatkannya dari
dinginnya udara.
Dimas juga membantu Celia
dengan menggookkan kedua
tangannya ke tangan wanita itu.
Celia hanya diam saja, tak
bereaksi menolakatau
melarangnya.
Apa perlu aku matiin AC
mobil biar mbak gak kedinginan
tanya Dimas.
Gak usah, jawabnya.
Dimas kemudian menarik
seat belt, mencondongkan
tbuhnya ke arah Celia.
Celia dan Dimas saling
bertatapan, jarak keduanya
begitu dekat, hanya beberapa
centi saja.
Bahkan wajah mereka
hampir menempel satu sama
lain saat Dimas memasangkan
sabuk pengaman itu.
…
Entah mengapa, jantung
Celia berdegup kencang dan tak
karuan saat berau mata dengan
Dimas, saat pria itu menatapnya.
Dia buru-buru menguasai
dirinya agar tak terhanyut.
Ayo cepat jalan, kita pulang
sekarang, perintah Celia.
Iya mbak, sahut Dimas,
melirik Celia yang sedang duduk
disampingnya itu sembari
menyunggingkan senyum.
Sementara, Celia menatap
lurus ke depan.
Dimas mnelajukan mobilnya
di tengah hujan menuju rumah
mereka.
NoteL..i..k..e..mu penyemangat Mimin
Related: Explore more posts